Kamis, 21 Februari 2013

Peran Orang Tua dalam Mendukung Sukses Pendidikan Anak

Jum'at, 22 Februari 2013




Dan rendahkanlah dirimu terhadap kedua (orang tua) dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ”Wahai Rabbku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku sewaktu kecil.” (QS al-Isra, 17:24)
Sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia berdoa, ” Wahai Rabbku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh, aku bertobat kepada-Mu dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” (QS al-Ahqaf, 46:15)
Ayat pada surat al-Isra di atas menggambarkan betapa besarnya arti pendidikan orang tua kepada anak-anak semasa mereka kecil, hingga Allah swt mengabadikan dalam lafazh doa pada al-Quran. Sementara itu, pada surat al-Ahqaf:15 tergambar bahwa kematangan kepribadian seorang beriman tercermin dalam usaha dan permohonan kepada Allah agar kebaikan pada dirinya menjadi washilah kebaikan yang akan diperoleh anak cucunya. Oleh karenanya perhatian orang tua terhadap pendidikan anak-anak semasa kecil menjadi sebuah kewajiban dalam ajaran Islam.
Orang tua hendaknya memiliki pengetahuan dan visi yang shahih (benar) dan jelas akan arah pendidikan anak. Ayat di atas memberi bekal para orang tua agar mengarahkan pendidikan anak pada sikap bersyukur kepada Allah dan pada perbuatan-perbuatan kebajikan (’amal shalih) yang diridhai Allah. Visi ini harus melekat pada orang tua di tengah berbagai tarikan-tarikan materialisme dalam tujuan kehidupan [1].
Professor Arief Rachman mengatakan bahwa anak butuh akhlak dan watak [2]. Beliau melihat pendidikan di Indonesia secara umum hanya menekankan aspek kognitif (pikiran, akademis). Hal-hal yang sifatnya terukur saja. Sementara itu, soal akhlak dan watak serta hal lain yang tidak terukur, boleh dibilang ditelantarkan. Padahal kalau kita membaca tujuan pendidikan dalam Undang-Undang Pendidikan, kita bisa melihat bahwa tujuan pendidikan itu memuat juga kedua hal tersebut. Inilah yang menyebabkan bangsa ini sulit menjadi bangsa yang besar. Korupsi masih ada di mana-mana, sikap tidak sportif merebak di berbagai dimensi kehidupan dan sikap-sikap negatif lainnya.
Menimbang hal-hal di atas, makalah ini akan dibuka dengan sifat pendidik suskes menurut arahan Nabi Muhammad saw. Kemudian dikupas secara singkat bentuk-bentuk pelibatan orang tua dalam pendidikan anak di sekolah. Dan pada bagian akhir disampaikan kiat-kiat orang tua dalam membangun jiwa (kepribadian) anak yang merupakan bagian paling mendasar dalam pendidikan.
Sifat-sifat Pendidik Sukses dalam Pengarahan Nabi saw.
Ustadz Muhammad Ibnu Abdul Hafizh Suwaid mencatat beberapa sifat pendidik sukses sebagai berikut [3]
1. Penyabar dan tidak pemarah, karena dua sifat ini dicintai Allah swt. (h.r. Muslim dari Ibnu ’Abbas)
2. Lemah lembut (rifq) dan menghindari kekerasan.
Allah itu Maha Lemah Lembut, cinta kelemahlembutan. Diberikan kepada kelembutan apa yang tidak diberikan kepada kekerasan dan kepada selainnya (h.r. Muslim dari ’Aisyah). Tidaklah kelemahlembutan itu terdapat pada sesuatu melainkan akan membuatnya indah, dan ketiadaannya dari sesuatu akan menyebabkannya menjadi buruk. (h.r. Muslim)
3. Hatinya penuh rasa kasih sayang
Sesungguhnya setiap pohon itu berbuah. Buah hati adalah anak. Allah tidak akan menyayangi orang yang tidak sayang kepada anaknya. Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, tidak akan masuk surga kecuali orang yang bersifat penyayang. (h.r. Ibnu Bazzar dari Ibnu ’Umar)
4. Memilih yang termudah di antara dua perkara selama tidak berdosa
Tidaklah dihadapkan kepada Rasulullah antara dua perkara melainkan akan dipilihnya perkara yang paling mudah selama hal itu tidak berdosa. (Mutafaq ‘alaih)
5. Fleksibel (layyin)
Bukanlah fleksibilitas yang berarti lemah dan kendor sama sekali, melainkan sikap fleksibel dan mudah yang tetap berada di dalam koridor syariah. Neraka itu diharamkan terhadap orang yang dekat, sederhana, fleksibel (lembut) dan mudah –qariib, hayyin, layyin, sahlin- (h.r. Al Kharaiti, Ahmad dan Thabrani)
6. Ada senjang waktu dalam memberi nasihat
Ibnu Mas’ud hanya memberi nasihat kepada para sahabat setiap hari Kamis. Maka ada seorang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdur Rahman, alangkah baiknya jika Anda memberi nasihat kepada kami setiap hari.” Beliau menjawab, “Saya enggan begitu karena saya tidak ingin membuat kalian bosan dan saya memberi senjang waktu dalam memberikan nasihat sebagaimana Rasulullah lakukan terhadap kami dahulu, karena khawatir kami bosan.” (Muttafaq ‘alaih).
Dasar dari sifat-sifat mulia di atas adalah keshalihan orang tua. Keshalihan orang tua ini akan memiliki pengaruh positif terhadap anak-anak. Firman Allah, “Dan orang-orang yang beriman, Kami akan pertemukan keturunan mereka dengan mereka. Dan Kami sedikitpun tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.” [QS ath-Thur, 52:21]. Mengomentari ayat ini, Ibnu ‘Abbas berkata, “Allah akan mengangkat derajat keturunan manusia bersama orang tuanya di Surga nanti walaupun kedudukannya tidak setinggi orang tuanya.”
Keikutsertaan Orang Tua dalam Pendidikan Anak di Sekolah
Beberapa peneliti mencatat bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak di sekolah berpengaruh positif pada hal-hal berikut [4].
· Membantu penumbuhan rasa percaya diri dan penghargaan pada diri sendiri
· Meningkatkan capaian prestasi akademik
· Meningkatkan hubungan orang tua-anak
· Membantu orang tua bersikap positif terhadap sekolah
· Menjadikan orang tua memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap proses pembelajaran di sekolah
Pihak sekolah dapat menyiapkan beberapa metoda untuk dapat melibatkan orang tua pada pendidikan anak, diantaranya dengan:
· Acara pertemuan guru-orang tua
· Komunikasi tertulis guru-orang tua
· Meminta orang tua memeriksa dan menandatangani PR
· Mendukung tumbuhnya forum orang tua murid yang aktif diikuti para orang tua
· Kegiatan rumah yang melibatkan orang tua dengan anak dikombinasikan dengan kunjungan guru ke rumah
· Terus membuka hubungan komunikasi (telepon, sms, e-mail, portal interaktif dll)
· Dorongan agar orang tua aktif berkomunikasi dengan anak
Diantara teori pendidikan menyebutkan sebuah paradigma tripartite (tiga pusat pendidikan), yang menempatkan sekolah, keluarga dan masyarakat sebagai tiga elemen yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan [5]. Dari ketiga elemen tripartite itu, keluarga merupakan fokus utama yang harus mendapat perhatian lebih, karena anak lebih banyak berada di rumah.
Cara Efektif Membangun Jiwa Anak
Sesungguhnya tugas utama pendidikan anak adalah membangun jiwa mereka agar siap menerima berbagai pelajaran dan kelak mengaplikasikan ilmu yang mereka peroleh demi kebaikan sesama. Ustadz Muhammad mengupas pengarahan Nabi Muhammad saw dalam membangun jiwa anak [6], sebagai berikut.
1. Menemani anak
Persahabatan punya pengaruh besar dalam jiwa anak. Teman adalah cermin bagi temannya yang lain. Satu sama lain saling belajar dan mengajar. Rasulullah saw berteman dengan anak-anak hampir di setiap kesempatan. Kadang-kadang menemani Ibnu ’Abbas berjalan, pada waktu lain menemani anak paman beliau, Ja’far. Juga menemani Anas. Begitulah Rasulullah berteman dengan anak-anak tanpa canggung dan tidak merasa terhina.
2. Menggembirakan hati anak
Kegembiraan punya kesan mengagumkan dalam jiwa anak. Sebagai tunas muda yang masih bersih, anak-anak menyukai kegembiraan. Bahkan orang tua merasakan kegembiraan dengan riangnya mereka. Oleh karena itu, Rasulullah saw selalu membuat anak-anak bergembira, antara lain dengan cara:
Ø Menyambut anak dengan baik
Ø Mencium dan mencandai anak
Ø Mengusap kepala mereka
Ø Menggendong dan memangku mereka
Ø Menghidangkan makanan yang baik
Ø Makan bersama mereka
3. Membangun kompetisi sehat dan memberi imbalan kepada pemenangnya
Umumnya manusia, apalagi anak-anak, suka berlomba. Rasulullah pun suka membuat anak-anak berlomba, misalnya ketika beliau membariskan Abdullah, Ubaidillah, dan anak-anak ‘Abbas lainnya, lalu bersabda, “Siapa yang mampu membalap saya, dia bakal dapat ini dan itu …” Maka mereka pun berlomba membalap Rasulullah saw sehingga berjatuhan di atas dada dan punggung beliau. Setelah itu mereka diciumi dan dipegangi oleh beliau.
4. Memberi pujian
Pujian punya pengaruh penting dalam diri anak, sebab dapat menggerakkan perasaan dan emosinya sehingga cepat memperbaiki kesalahannya. Mereka bahkan menunggu-nunggu dan mendambakan pujian.
5. Bercanda dan bersenda gurau
Canda dan senda gurau akan membantu perkembangan jiwa anak dan melahirkan potensinya yang terpendam. Rasulullah saw menyerukan, “Barangsiapa punya anak kecil hendaklah diajak bersenda gurau!” (h.r. Ibnu Asakir)
6. Membangun kepercayaan diri anak
Ini dilakukan dalam bentuk:
Ø Mendukung kekuatan ‘azzam pada anak, misalnya melatih menjaga rahasia dan membiasakan anak berpuasa
Ø Membangun kepercayaan sosial
Ø Membangun kepercayaan ilmiah
Ø Membangun kepercayaan ekonomi dan perdagangan
7. Memanggil dengan panggilan yang baik
Bermacam-macam cara Rasulullah saw memanggil anak, tujuannya untuk menarik perhatian dan membuat anak siap mendengar apa yang hendak dipesankan. Panggilan ini misalnya “nughair” atau si burung pipit, “ghulam” yang berarti anak, atau “wahai anakku”. Sementara para sahabat memanggil anak-anak dengan “wahai anak saudaraku”.
8. Memenuhi keinginan anak
Adakalanya orang tua harus memenuhi permintaan anak. Ini juga merupakan cara efektif untuk menumbuhkan emosinya dan menambat jiwanya terhadap orang tua. “Sesungguhnya barangsiapa berusaha menyenangkan hati anak keturunannya sehingga menjadi senang, Allah akan membuatnya merasa senang sehingga di akhirat ia benar-benar akan merasa senang.” (h.r. Ibnu Asakir)
9. Bimbingan terus-menerus
Anak, sebagaimana manusia lazimnya, sering salah dan lupa. Dibanding semua makhluk lain, masa anak-anak manusia adalah yang paling panjang. Ini semua kehendak Allah, agar cukup sebagai waktu untuk mempersiapkan diri menerima taklif (kewajiban memikul syariat). Orang tua harus secara telaten membimbing anak pada masa kanak-kanaknya. Ibnu Mas’ud berkata, “Biasakanlah mereka (anak-anak) dengan kebaikan, karena kebaikan itulah yang akan menjadi adat (kebiasaannya).”
10. Bertahap dalam pengajaran
Contohnya pada saat mendidik anak untuk shalat. “Perintahkan anakmu untuk shalat ketika berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika enggan shalat) ketika berumur sepuluh tahun.” (h.r. Abu Dawud)
11. Imbalan dan ancaman
Cara ini tidak kalah pentingnya dalam membangun jiwa. Rasulullah saw juga menggunakan cara ini dalam pendidikan. Contohnya untuk membuat anak berbakti kepada orang tua, beliau menyebutkan besarnya pahala berbakti kepada orang tua dan besarnya ancaman begi mereka yang durhaka kepada orang tua.
Catatan Penutup
Pendidikan anak pada hakikatnya adalah tanggung jawab para orang tua. Oleh karena itu keterlibatan orang tua dalam mendukung sukses anak menuntut ilmu di sekolah merupakan kewajiban. Untuk menjadi pendidik yang baik, orang tua mesti menghiasi dirinya dengan keshalihan. Peran penting orang tua adalah membangun dan menyempurnakan kepribadian dan akhlak mulia pada anak. Untuk itu perlu sikap-sikap pendidik seperti sabar, lembut, dan kasih sayang.
Untuk melengkapi pendidikan anak di sekolah, orang tua mesti membangun jiwa anak sesuai pengarahan Nabi Muhammad saw.

Selasa, 19 Februari 2013

 BANGUN MALAM

“Apa kabar Saudaraku?”

Sapaan lembut. Basa-basi atau lahir- batin tak ada yang tahu. Sebab sudah jamak ketika perjumpaan atau dua orang saling bertemu, hal kedua setelah salam tentu menanyakan kabar. Tapi dengan pertanyaan berikut ini, saya jadi tertegun. Antara malu dan menipu.

“Bagaimana keadaan sholat malammu?”

Kata – kata teduh dari pribadi yang sepuh. Jarang mendapatkan pertanyaan seperti ini ketika perjumpaan. Paling banyak setelah kabar, biasanya menanyakan pekerjaan, kemudian keluarga, lalu anak, terus istri dan kadang masalah tempat tinggal.  Begitu perhatiannya sesepuh ini sehingga menanyakan kabar sholat malam. Tak aneh, seolah-olah mimpi. Menjawabnya pun susah. Mau terus – terang tersipu. Mau berbasa – basi (baca bohong) gak terus-terang berani. Salting (salah tingkah) jadinya. Dan bahasa tubuh itu tertangkap basah dengan kearifan sesepuh ini, hingga ia tak perlu menunggu lama untuk terus melanjutkan wicara mencairkan suasana. Tak baik membuat susah tamu.

“Terus apa yang diandalkan dalam hidup ini?”

Semakin tersudut. Semakin terpojok dalam himpitan kesungguhan. Semua keakuan luruh. Menepi menuju jurang jatuh jati diri masing – masing. Sunyi yang menemani, menambah nuansa kekalahan hari ini. Tak ada rasa yang tersisa. Apalagi kebanggaan. Dan apa yang telah dilakukan selama ini bukanlah sesuatu yang bisa diandalkan. Serasa sia – sia semua. Aku terpaku.

“Tak usah segan. Saya perlu bicara ini kepada siapa saja. Mungkin karena kegalauan yang menghinggapi, melihat situasi yang ada. Perlu rasanya menghidupkan lagi lakon yang sudah mati ini sebagai kunci. Bukan menyerang. Bukan menghina. Pun bukan mengiba. Sebenarnya memberi motivasi. Memberi terapi. Kejutan, agar sunnah ini bisa hidup dan hidup lagi. ”
Aku semakin tidak mengerti. Di depannya serasa mati berdiri. Cahaya wajahnya meneduhkan. Sorot matanya penuh keagungan. Tutur katanya menyejukkan. Penuh berisi. Mencuci hati – hati kotor dengan rangkaian kalimat hikmah dari dua bibir lembutnya. Omong sak omong bergandeng dengan kesungguhan dan kebenaran. Sejatinya, sudah berulang kali saya mendengar dalil – dalil serupa. Namun di tangan sesepuh ini semua terasa berbeda. Begitu beryoni dan berisi.  Ini salah satunya;

‘Ketika Jibril datang pada Rosululloh SAW ia berkata, “Hai Muhammad, kemuliaan orang beriman adalah sholat malamnya. Dan kegagahan orang beriman adalah sikap mandiri dari bantuan orang lain.” (HR. Al-Hakim, dihasankan oleh Al Albani, Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah no. 831)’

“Apa yang bisa saya katakan sekarang, kalau ternyata banyak jumlah orang iman tetapi tidak banyak yang mampu bangun malam. Sholat malam menjadi hal yang asing. Padahal seharusnya bangun malam adalah gandengannya orang iman. Orang yang mulia.”

Klakep. Ada dorongan luar biasa dalam diri ini. Tekad yang kuat untuk bisa bangun dan sholat malam. Rawe – rawe rantas, malang – malang putung. Apapun kondisinya. Ada pencerahan luar biasa dalam hati saya. Semangat untuk bisa bangun dan munajad di sepertiga malam tanpa jeda. Sebagai tanda kesyukuran. Sebagai tanda kesungguhan. Sebagai pencarian kemuliaan bagi pakaian keimanan. Kalau masih mengaku iman sebagai berjati diri.

“Wahai manusia siarkanlah salam dan berikanlah makanan dan sambunglah famili dan sholatlah di waktu malam ketika manusia yang lain tertidur, kalian akan masuk ke surga dengan selamat.” (Rowahu Ibnu Majah J-2)

Dan satu lagi pesan dari perjumpaan itu. Potret kekinian yang terus merebak. Dengan santunnya pinisepuh ini berkomentar, “Dulu setiap kali ngaji serasa melakukan outbond. Sekarang, banyak yang baru bisa merasakan “pengajian” setelah mengadakan acara outbond.” Kok bisa ya? Entah darimana kesimpulan ini datang. Yang pasti saya manggut – manggut mengiyakan. Wallahul musta’an, wa alaikal balagh, walaa haula walaa quwwata illaa billaah. (pf)
Oleh : Faizunal Abdillah

Kamis, 14 Februari 2013


http://www.ldii.or.id/images/stories/januari2013/sudahkah-bersyukur-hari-ini.jpg


SUDAHKAH ANDA BERSYUKUR HARI INI ?

Berapa seringkah kita bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan kepada kita per harinya?

Bagi yang rajin akan berada di angka 165 kali atau lebih. Dengan catatan rajin berdzikir sehabis sholat wajib dengan membaca tahmid - Alhamdulillah 33 kali, selain tasbih dan takbir. Itu pun (kebanyakan) tanpa penghayatan karena sudah terbiasa sama sekali. Tapi, Alhamdulillah masih mending daripada yang hanya sambil lalu saja.

Ibn Athaillah dalam kitabnya - Al-Hikam - mendefinisikan syukur adalah sarana untuk memanfaatkan dan memelihara karunia-Nya. Hati yang bersyukur memperkuat dan memantapkan kebaikan yang ada. Orang awam mungkin hanya bersyukur saat mendapatkan kesenangan materi saja. Tetapi, orang yang dekat dengan Allah menyadari semua yang terjadi di dunia, baik itu nikmat atau musibah sekalipun akan senantiasa disyukuri. Siapa tidak mensyukuri nikmat, berarti menginginkan hilangnya. Dan siapa mensyukurinya, berarti telah secara kuat mengikatnya.

Allah Ta`ala berfirman : Maka makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. (Q.S An-Nahl [16] : 114)

Bersyukur merupakan ibadah paling mudah, tetapi sangat sedikit orang yang menyadari dan melakukannya. Hanya hamba yang benar-benar beriman yang bisa mensyukuri setiap nikmat dan rizki yang telah Allah berikan. Sekecil apapun itu, jika kita bersyukur maka nilainya akan tinggi di mata Allah Ta`ala. Kita bisa menghirup udara segar, tangan kita bergerak melakukan apa saja yang kita mau, mata kita bisa melihat dengan jelas, kaki kita bisa berjalan dan tubuh kita tegap tanpa takut terjatuh, perut kita bisa mencerna makanan dengan tidak memuntahkannya, telinga kita masih bisa mendengar, itu semua nikmat dari Allah.

AllahTa’ala berfirman: Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nahl 18)

Hati yang selalu ikhlas, ridla dengan takdir-Nya, lisan yang selalu ringan mengucap syukur dan berakhlaqul karimah terhadap sesama manusia merupakan bentuk nyata dari mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Orang yang senantiasa bersyukur kepada Allah, qana’ah, selalu mengambil hikmah terhadap segala permasalahan, maka hidupnya akan tentram, pikirannya tidak cemas, hatinya selalu bersih dari kesombongan dan kekufuran. Tetapi sebaliknya, orang yang tidak mau dan lupa bersyukur maka Allah akan mencabut nikmat yang telah diberikan-Nya dan mengganti dengan siksa yang pedih. Naudzubillahi min dzalik.

Janji Allah tak akan luput seperti pada surat Q.S Ibrahim [14] : 7, Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Oleh karenanya, perlu disadari jika kita bersyukur maka keimanan kita bertambah, ilmu kita bertambah, harta kita bertambah, amal kita bertambah. Bersyukur bukanlah hal sulit. Bersyukur bukanlah hal remeh yang mesti kita tinggalkan. Tapi sebaliknya harus kita tingkatkan, walau banyak yang lupa meninggalkannya. Karenanya ingatlah: “Fabiayyi Aalaa’i Robbikumaa Tukadz-dzibaan - Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang (bisa) kamu dustakan?”

Gambar: http://1.bp.blogspot.com